THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Teori Pengetahuan Menurut Plato

oleh Anderia Samakai Abolla, John Nelson P. Modok dan
Leonisius Widhi Prasetya 

Ada dua macam pengetahuan yang dikemukakan oleh Plato. Pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman atau indera (pengetahuan pengalaman) dan yang kedua adalah pengetahuan yang diperoleh melalui akal (pengetahuan akal). Plato membandingkan kedua pengetahuan tersebut dan mempertimbangkan mana yang benar dari antara keduanya.
Menurut Achmadi (1995), sebagai penyelesaian dari persoalan tersebut, Plato menerangkan bahwa manusia sesunggguhnya berada pada dua dua dunia, yaitu dunia ide (idea/form) yang bersifat tetap, hanya satu macam dan tidak berubah dan dunia fisik (matter) atau dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap (matter). Sebagai contoh terdapat banyak segitiga yang bentuknya berlainan menurut pengetahuan indera/pengalaman. Tetapi dalam ide atau pikiran, bentuk segitiga tersebut hanya satu dan tetap dan ini menurut pengetahuan akal.
Bertenz (1999) menjuruskan dunia Idea/Form pada istilah ‘pengenalan’ tentang ide-ide. Pengenalan tentang ide-ide inilah yang merupakan pengenalan yang sesungguhnya yang dinanamakan Plato epistêmê atau pengetahuan (knowledge). Objek yang dituju oleh pengenalan atau pengetahuan ini bersifat teguh, jelas dan tidak berubah. Untuk mencapai pengetahuan ini dibutuhkan rasio. Pengetahuan yang dicapai oleh rasio inilah yang dipraktekkan di dalam ilmu pengetahuan. Jika dihubungkan dengan dunia fisik atau dunia pengalaman, maka pengetahuan inilah yang harus memengaruhi yang fisik atau pengalaman, bukan sebaliknya.


Bagan ‘Devided Line’ di atas mennggambarkan bagaimana Plato membedakan antara dunia pikiran dan dunia fisik atau dengan kata lain ‘The Mind’ dalam bagan di atas merupakan ‘Dunia Ide’ dan ‘The World’ merupakan ‘Dunia Fisik’ atau ‘Dunia Pengalaman’ yang dapat ditangkap oleh indera.
Tujuan pengetahuan menurut Plato dapat kita lihat dari mitos Plato yang sudah masyhur sekali tentang penunggu-penunggu gua yang termuat dalam dialog Politea. Manusia dapat dibandingkan – demikian katanya – dengan orang-orang tahanan yang sejak lahir terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah kepada dinding gua. Dibelakang mereka ada api bernyala. Beberapa orang budak belian mondar-mandir di depan api itu, sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu mengakibatkan rupa-rupa bayangan yang dipantulkan pada dinding gua. Karenyanya orang tahanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu merupakan realitas yang sebenarnya. Namun sesudah beberapa waktu satu orang tahanan dilepaskan. Ia melihat sebelah belakang gua dan api yang ada disitu. Ia sudah memperkirakan bahwa bayang tidak merupakan realitas yang sebenarnya. Lalu ia dihantar keluar gua dan melihat matahari yang meyilaukan matanya. Mula-mula ia berpikir ia sudah meninggalkan realitas. Tetapi berangsur-angsur ia menginsafi bahwa itulah realitas yang sebenarnya dan bahwa dahulu ia belum pernah memandangnya. Pada akhirnya ia kembali ke dalam gua dan bercerita kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukannya realitas sebenarnya melainkan hanya bayang-bayang saja. Namun mereka tidak mempercayai orang itu dan seandainya mereka tidak terbelenggu, maka mereka pasti akan membunuh setiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua (dengan sebutan terakhir ini dikiaskan kematian Sokrates).
Mitos ini mesti dimengerti sebagai berikut; Gua tadi ialah dunia yang disajikan kepada panca indera kita. Kebanyakan orang dapat dibandingkan dengan orang tahanan yang terbelenggu: mereka menerima pengalaman spontan begitu saja.  Tetapi ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa realitas indrawi tidak lain daripada bayang-bayang saja: merekalah filsuf. Mula-mula mereka merasa heran sekali, tetapi berangsur-angsur mereka menemukan Ide “yang Baik” (matahari) sebagai realitas tertinggi. Untuk mencapai kebenaran, yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha khusus untuk melepaskan diri dari panca indera yang menyesatkan. Tetapi, sebagaimana terjadi dalam mitos, filsuf pun tidak akan dipercayai orang.
Mitos tersebut sebenarnya berbicara mengenai perbedaan mendasar antara 2 hal yang dikemukakan plato, yaitu:
a.      apa yang dapat diindera dengan apa yang hanya dapat ditangkap oleh logika, dan
b.      dunia indera atau dunia fisik (matter) dengan dunia Ide (Idea).
Tiga gambaran yang diungkapkan dalam mitos maupun Divided Line yang telah digambarkan di atas, yaitu: matahari, garis pembatas (Divided Line) dan gua dapat dijelaskan melalui relasi antara Ide “yang Baik” terhadap dunia Ide yang dapat dimengerti atau terhadap indera. Ide “yang Baik” memberikan kebenaran kepada obyek-obyek dan memberikan kemampuan untuk mengetahui kepada orang yang menangkap kebenaran dari obyek-obyek tersebut. Ini adalah natur esensial dari Kebaikan yang menyebabkan kebenaran dan pengetahuan akan kebenaran.
Ide “yang Baik” menurut Plato tidak sama dengan kebenaran maupun pengetahuan akan kebenaran lebih dari cahaya dan penglihatan yang identik dengan matahari. Ini memberikan Plato konsep trinitas yang terkenal yaitu: yang Benar, yang baik dan yang Indah. ‘Yang Baik’ dibutuhkan untuk kebenaran, yaitu yang memberikan obyek kebenarannya. ‘Yang Baik’ juga memberikan daya penglihatan kepada kepandaian, dan pengetahuan akan kebenaran mengisi kita dengan keindahan. Itulah persamaan antara kebenaran dari obyek-obyek, pengetahuan akan kebenaran, dan ‘yang Baik’, akan tetapi ketiganya tidak sama (Allen and Springted, 1989, p. 28).  Jadi hal penting yang disampaikan Plato dari cerita ini adalah seseorang dikatakan memperoleh pengetahuan jika ia menemukan ide “Yang Baik” itu.

Kritik terhadap pemikiran Plato
Plato sangat teliti memisahkan antara dunia dunia Ide dengan Pengalaman. Kesimpulan yang ia berikan mengenai pertentangan antara Ide/pengetahuan dengan Pengalaman sangat tegas yaitu Ide harus memengaruhi pengalaman. Ide sebagai suatu hal tertinggi, menurutnya hanya dapat dicapai melalui rasio. Poin yang dikemukakan oleh Plato ini merupakan satu poin yang penting karena manusia adalah makhluk rasional, dan inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Ini berarti dalam pandangan Plato, rasio menempati tempat tertinggi dalam diri manusia dan segala sesuatu yang bersifat pengalaman harus bergantung pada rasio.
Rasio memang merupakan sebuah alat untuk menemukan pengetahuan, tetapi setelah seseorang menemukan pengetahuan, untuk memastikan bahwa apakah pengetahuan tersebut benar atau salah, apakah yang menjadi standar penentunya? Apakah Yang “Baik” itulah yang menjadi standarnya? Sementara Yang “Baik itu sendiri tidak dideskripsikan dengan jelas. Jadi sebenarnya, yang menentukan suatu pengetahuan itu benar adalah rasio, karena Yang “Baik itu pun bukan menyatakan dirinya secara langsung beserta standar kebenaran menurut Yang “Baik itu, tetapi, kebenaran yang dikatakan Plato berasal dari Yang “Baik  sebenarnya ia evaluasi menurut standar logika. Ini merupakan sebuah kekurangan dari teori pengetahuan Plato.
Melalui Alkitab kita mengetahui bahwa manusia memang dapat mengetahui kebenaran melalui rasio, tetapi kebenaran ini bersifat umum, bukan kebenaran khusus dan kebenaran yang mutlak.  Pemikiran Plato yang berhenti pada Yang “Baik”, yang tidak dijelaskan secara pasti ini dapat memberikan celah bagi relativisme bahkan ketika manusia berbicara mengenai Allah. Akhirnya sulit bagi manusia untuk mengenal kebenaran yang mutlak.
Alkitab mengatakan bahwa “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan...” (Amsal 1:7). Peryataan Alkitab ini jelas berbeda dengan filsafat Plato yang menekankan rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang pasti benar dan berhenti kepada pengetahuan. Ide “yang Baik” yang dinyatakan Plato pun masih mengambang dan tidak berujung kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan tersebut.
Ketika Plato berbicara mengenai “yang Baik”, Ia merujuk pada sumber kebenaran yang memberikan kebenaran kepada obyek-obyek kemampuan untuk mengetahui kebenaran kepada manusia dan pengetahuan akan kebenaran yang mengisi kita dengan keindahan. Berarti “yang Baik” di sini merupakan sumber kebenaran. Melalui Alkitab kita mengetahui bahwa sumber kebenaran adalah Allah. Holmes (1997) menyatakan Allah adalah sumber dari semua pengetahuan kita, sehingga usaha kita untuk mengetahui kebenaran bergantung pada Allah dan pengetahuan-Nya merupakan sumber dan norma bagi pengetahuan kita. Tanpa berusaha untuk menyamakan “yang Baik” dengan Allah, kami mengutip pernyatan Paulus dalam Kolose 2 mengenai Kristus Sang Pencipta, “di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan”. Dialah kebenaran itu, memang maha tahu, tetapi juga yang menerangi pengertian manusia (Holmes, 1997, p.59).
Agustinus secara langsung menyebut “yang Baik” yang dinyatakan Plato tersebut sebagai Tuhan, tetapi hal tersebut merupakan upaya pengkristenan filosofi Plato. Kami melihat filsafat Plato dari sudut pandang kekristenan yang berbeda dengan pandangan Agustinus. Menurut kami tidak seharusnya Agustinus menyebut “yang Baik” tersebut sebagai Tuhan, sebab ada perbadaan antara konsep “yang Baik” yang dimaksudkan oleh Plato dengan Tuhan yang dinyatakan di dalam Alkitab. Letak perbedaanya adalah Plato mengatakan bahwa kebenaran yang bersumber dari “yang Baik”  itu tidak sama dengan “yang Baik” itu sendiri. Sementara itu di  dalam Alkitab Yesus mengatakan: “Aku adalah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6).  Berarti pada saat yang sama, Yesus sebagai Allah yang berpribadi menyatakan bahwa kebenaran itupun berpribadi yaitu pribadi Allah sendiri. Jadi, kita dapat berelasi secara personal denan Allah yang berpribadi. 

Referensi:
Allen, D & Springsted, E. O. (2007). Philosophy for Understanding Theology (2nd edition). Louisville: Westminster John Knox Press
Asmoro, A.. (1995). Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Bertenz, K. (1999). Sejarah filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Hicks, P. (2003). The Journey So Far Philosophy Through The Tges. Michigan: Zondervan
Harrison-barbet, A. (2001). Mastering Philosophy (2nd edition). New York: Palgrave