THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Menelusuri Pandangan Plato mengenai Etika dari Sudut Pandang Alkitab


oleh Primana Christasari dan Rahelia Christanti

Menurut Plato, tujuan hidup manusia adalah memperoleh kesenangan dan kesenangan itu dapat diperoleh dengan pengetahuan (budi). Ada dua macam budi, yaitu budi filosofis dan budi biasa. Budi filosofis berkaitan dengan alam rohani, sedangkan budi biasa berkaitan dengan keperluan materiil untuk hidup di dunia ini. Jiwa murni semua manusia selalu rindu kepada dunia asalnya, alam rohani. Alam rohani inilah yang hendak dicapai. Plato menyadari bahwa untuk dapat mencapai alam rohani itu, manusia akan menghadapi banyak rintangan/hambatan. Hambatan tersebut berupa materi, meskipun materi dapat disingkirkan, tetapi tidak dapat dihilangkan seluruhnya karena manusia terbatas. Dengan kemampuan intelektual, manusia dapat menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut. Itu berarti bahwa manusia dapat mengatasi hambatan yang terdapat pada dirinya sendiri, namun manusia harus berjuang untuk membebaskan rasionalnya dari pengaruh tubuh yang melingkupinya. Hidup selalu diperhadapkan dengan dua pilihan, baik atau buruk. Dari sinilah munculnya teori etika Plato.
Hal tersebut sejalan dengan prinsip Firman Tuhan, yaitu untuk mendapatkan sesuatu ada harga yang harus dibayar. Untuk dapat memperoleh mahkota, harus memikul salib terlebih dahulu. Kebahagiaan bukan semata-mata kita dapatkan tanpa usaha. Tetapi, kebahagiaan juga tidak dapat kita beli. Kebahagiaan bisa kita peroleh jika kita berusaha untuk melakukan yang terbaik bukan untuk manusia, tetapi seperti untuk Tuhan (Kol 3:23). Namun, hidup adalah pilihan dan manusia memiliki kehendak untuk memilih.
Menurut Plato, manusia cenderung pada segala sesuatu yang berfokus pada kebaikan dirinya sendiri dan kurang melihat kebaikan bagi manusia lain. Manusia bekerja keras untuk memperoleh kekayaan, reputasi, dan kekuasaan. Ketika manusia berhasil mendapatkan keinginannya, ia berusaha untuk mencapai keinginannya yang lain. Manusia tidak mengenal puas. Menurut Plato, manusia itu baik jika ia dikuasai oleh akal budi, sedangkan manusia akan dikatakan jahat jika ia dikuasai oleh hawa nafsu dan keinginan. Jika manusia dikuasai oleh hawa nafsu dan keinginan maka akan menjadi kacau dan tidak teratur. Manusia akan menjadi kacau karena dikuasai oleh sesuatu yang berada di luar diri manusia, bukan dari dalam diri manusia. Manusia tidak dapat mengendalikan diri manusia sendiri, tetapi diombang-ambingkan oleh hawa nafsu. Hal  itu akan membuat manusia menjadi kacau dan terpecah-pecah. Manusia menjadi objek dorongan irasional yang berada dalam diri manusia, bukan menjadi rasional. Dengan menuruti hawa nafsunya, manusia cenderung berbuat jahat dan untuk mengatasinya manusia dituntut untuk bersikap bijak dalam memilih dan mengambil keputusan dengan terlebih dahulu memahami ide tentang Sang Baik. Dengan demikian, ia akan dapat mengambil keputusan yang baik pula.
Menurut Plato, baik adalah keselarasan antara wujud sesuatu dengan tujuan diciptakannya. Manusia yang baik adalah manusia yang mampu menyelaraskan kekuatan-kekuatan rasional yang ada pada dirinya dengan cara hidup yang dikuasai oleh akal budi. Hidup rasional adalah hidup yang menyatu dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, jika manusia ingin mencapai hidup yang baik, yang tenang, bersatu, dan terasa bernilai, hal pertama yang harus manusia lakukan adalah membebaskan diri manusia dari kuasa irasional hawa nafsu dan mengarahkannya kepada akal budi. Dengan dikuasai oleh akal budi, manusia akan bisa berfikir secara rasional, kemudian membentuk konsep, dan dari konsep tesebut akan membawa manusia kepada alam nyata. Ini merupakan gambaran dari alam duniawi dan alam rohani. Sedangkan alam nyata yang dimaksud disini adalah alam rohani. Dalam kerangka berpikir Plato, dari yang badani ke jiwani, dari yang jasmani, ke yang rohani. Pada diri manusia terdapat unsur-unsur yang berbeda dan manusia cenderung terjatuh pada unsur yang negatif. Tugas manusia adalah untuk membersihkan pengaruh negatif yang ada di dalam dirinya. Perbedaan hakiki antara manusia dengan binatang adalah pada kapasitas untuk apa ia diciptakan.
Menurut Plato, akal budi adalah kemampuan untuk melihat dan mengerti. Dengan menggunakan akal budi, manusia dapat menjadi selaras dengan alam semesta. Jika manusia dikuasai oleh akal budi, manusia akan menjadi tertata oleh intuisi tersebut. Bila manusia sudah terarah kepada alam idea, maka manusia akan ikut terarah dalam alam idea sendiri. Seperti alam indrawi terarah dalam alam idea-idea, sedangkan alam idea terarah pada idea yang tertinggi. Idea yang tertinggi tersebutlah yang disebut idea dari Sang Baik. Sang Baik adalah dasar dari segalanya. Menurut Plato, Sang Baik tersebut adalah sang Ilahi. Manusia yang baik adalah manusia yang tertarik kepada Sang Baik. Hidup manusia akan semakin bernilai jika ia menarik dirinya lebih dekat kepada nilai dasar, yang di mana nilai tersebut hanya dimiliki oleh Sang Baik. Berdasarkan pada pemikiran tersebut Plato menyimpulkan bawa manusia dapat mencapai puncak eksistensinya jika ia terarah kepada Ilahi.
Sedangkan kekuatan yang dapat menarik manusia tersebut disebut cinta. Karena Sang Baik itu baik adanya maka ia yang paling dicintai dan dirindukan oleh ide-ide. Manusia cenderung akan tertarik dengan segala sesuatu yang baik-baik. Ide Sang Baik sendiri adalah dasar segala cinta. Manusia akan mencapai puncak hidup yang etis jika ia sudah dapat menyatukan keseluruhan dari kebaikan objektif, cinta, dan kebahagiaan. Plato menganggap bahwa untuk menggerakkan manusia tidak dibutuhkan paham kewajiban seperti yang dilakukan oleh Kant, tetapi hanya dengan ajakan dan mencicipi sesuatu yang baik tersebut sehingga berangsur-angsur manusia akan lebih memilih yang baik dari pada yang jahat. Menurut Plato, justru manusia yang mengejar yang baiklah yang akan bahagia. Karena kebahagiaan yang sebenarnya adalah ada pada Sang Baik, maka manusia harus mengarahkan diri kepada Sang Baik. Keterarahan kepada Sang Baik tercermin dalam keteraturan jiwanya. Hidup yang rasional dan etis akan membawa rasionalnya sendiri ke dalam dirinya. Manusia akan mencapai kebahagiaan jika ia dapat menyatu dalam cinta Sang Baik.
 Menurut Plato, kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang mengantarkan manusia menjadi bijak, berani, mawas diri, dan adil. Kebaikan tertinggi dalam kehidupan ini adalah mengharmonisasikan antara yang ideal dengan kenyataan, yakni mewujudkan keadilan, keberanian, kebaikan, dan kebijaksanaan melalui petunjuk rasio. Kebahagiaan tertinggi terletak dalam kehidupan yang mengarah pada kebaikan tertinggi dan merenungkan ide-ide yang paling tinggi.
Manusia hanya dapat mengaktualkan ketinggian sosialnya dalam pergaulan sesama anggota masyarakat dnegan memberi kontribusi terbaiknya bagi negara dan kesejahteraan sesamanya. Kepuasan tertinggi timbul dari kesadaran bahwa pekerjaan hanya dapat dilaksanakan secara maksimal bila digarap oleh ahlinya. Tiap manusia memiliki bakat masing-masing. Pekerjaan yang tidak baik dikerjakan oleh ahlinya akan membahayakan dirinya dan manusia lain.


Referensi:
Suseno, Franz Magnis. (1997). Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak zaman Yunani sampai abad ke 19. Jogjakarta: Kanisius