THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Menelusuri Pandangan Plato mengenai Tuhan dari Sudut Pandang Alkitab

oleh Kurnia Dwijayanti dan Intan Hapsari

            PertamaPlato berpendapat bahwa tuhan adalah keberadaan yang ilahi yang bersifat rohani atau akali, dalam arti: yang keadaannya berlawanan dengan yang bendawi, yaitu keberadaan yang halus, yang tidak tampak, yang tidak dapat diraba. Yang ilahi, yang bersifat rohani atau akali itu jauh lebih tinggi daripada yang bendawi dan mengatasi yang bendawi itu. Oleh karena itu yang ilahi ini disebut transenden. Jadi sifat tuhan yang transenden  itu disebabkan karena sifatnya yang rohani atau akali, yang mengatasi yang bendawi.
Kitab Perjanjian Lama memang penuh dengan gagasan tentang Tuhan Allah yang Mahatinggi. Contohnya, kitab Kejadian 14:19 menyebutkan bahwa Abraham diberkati oleh Tuhan Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi. Berdasarkan ayat-ayat semacam itu dijelaskan bahwa Tuhan Allah adalah transenden, dalam arti yang diberikan oleh Plato, yaitu bahwa Tuhan Allah pada hakekatnya tidak dapat dihampiri oleh akal manusia. Pada umumnya gambaran teologia Kristen mengenai Tuhan Allah adalah demikian: Tuhan Allah adalah transenden. Hakekat-Nya atau zat-Nya tidak dapat dikenal oleh manusia secara mutlak.
Gambaran yang demikian tentang Tuhan Allah memang mempunyai segi-seginya yang menguntungkan, yaitu bahwa dengan demikian manusia dapat dipandang sebagai bergantung kepada Tuhan Allah saja. Tuhan Allah berbeda sekali dengan manusia. Ada jarak yang tidak terjembatani antara Tuhan Allah dan manusia. Akan tetapi segera orang akan merasa, bahwa dengan demikian manusia tidak mungkin mengenal Tuhan Allah. Manusia tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Tuhan Allah. Segala pembicaraan tentang Tuhan Allah tiada dasarnya dan tiada gunanya. Oleh karena itu maka timbullah ajaran tentang penyataan atau wahyu Tuhan Allah, yang dipandang sebagai penyesuaian diri Tuhan Allah kepada keadaan manusia. Agar supaya Tuhan Allah yang transenden, yang tidak dapat ditembus oleh akal manusia itu, dapat dimengerti oleh manusia, maka Tuhan Allah di dalam penyataan atau wahyu-Nya harus menyesuaikan diri dengan kecakapan manusia. Di dalam penyataan atau wahyu-Nya itu Tuhan Allah memakai bentuk-bentuk manusiawi.
Dengan demikian timbullah ajaran tentang dua macam pengetahuan tentang Tuhan Allah. Ada pengetahuan tentang Tuhan Allah yang dimiliki oleh Tuhan Allah sendiri, yang tidak dapat diketahui oleh manusia, dan ada pengetahuan tentang Tuhan Allah yang dimiliki oleh manusia, yang berdasarkan penyataan atau wahyu Tuhan Allah.
            Kedua,  Plato sendiri tidak menuntut adanya satu ilah atau tuhan, asal semuanya memiliki satu tabiat (nature) yaitu tabiat ilahi (divine nature). Tuhan harus dipandang sebagai keberadaan sejati (the real being) , zat yang bersifat akali atau rohani serta yang tidak berubah (the true, intelligible and immutable being). Yang penting ialah, bahwa cara berada Tuhan harus diubah dari cara berada yang bersifat jasmaniah (material) menjadi cara berada yang akali atau rohani (immaterial). Pandangan Plato ini bila kita tinjau secara mendalam, kita mendapat kesan, bahwa sebenarnya akal manusialah yang menentukan bagaimana seharusnya Tuhan. Selanjutnya, pengetahuan tentang Tuhan menjadi kabur. (Calvin, p13). Dengan ajarannya tentang tabiat ilahi itu sebenarnya ilah atau tuhan menjadi pengertian yang predikatif, artinya: pengertian yang menunjuk kepada nama sifat. Tuhan menjadi ketuhanan atau yang ilahi. Dengan sendirinya tuhan seperti ini menjadi sasaran pemikiran manusia. Tuhan dianggap penting, bukan sebagai subyek yang berbuat, melainkan sebagai obyek atau sasaran yang menyinarkan sinar. Jika tuhan ini dipandang sebagai sebab segala sesuatu, hal itu bukan karena ia berbuat dengan tindakan-tindakannya, melainkan karena ia seolah-olah menarik segala sesuatu, tanpa dapat ditentang, seperti halnya dengan sebuah magnit menarik serpihan besi.
   Dari uraian di atas  juga jelas  bahwa yang menjadi dalil Plato ialah yang ilahi itulah tuhan, bukan Tuhan adalah yang ilahi. Bagi Plato yang penting ialah yang ilahi dahulu, seolah-olah ada sesuatu yang ilahi, lalu yang ilahi ini dianggap tuhan.
Ketiga, pandangan plato mengenai “ide adalah yang sempurna” dan bahwa “rasio merupakan level tertinggi dalam pembagian manusia” sangat berpengaruh terhadap kepercayaan dan pemikirannya tentang Tuhan. Berlandankan kepercayaannya terhadap ilmu Yunani bahwa hanya sedikit keterlibatan Allah dalam dunia ini, serta sedikit ketergantungan manusia kepada Tuhan, Plato dalam bukunya Timaeus mengatakan bahwa dunia diciptakan dalam gambar "model unik, sempurna dan kekal." Model ini adalah yang tertinggi dan paling benar-benar sempurna dari hal-hal yang dimengerti dimana orang bisa memahaminya melalui akal/rasio. Plato sesungguhnya meyakini adanya suatu penciptaan akan alam semesta ini. Ia berpendapat bahwa terdapat oknum yang tak terbatas yang dinyatakan sebagai pencipta alam. Akan tetapi keberadaan oknum tak terbatras ini tidak lebih tinggi dari manusia rasio manusia.
Dalam bukunya Timeaus Oknum yang tak terbatas ini disebut Demiurgos. Demiurgos merupakan tokoh yang sangat menarik dan penuh dengan teka-teki. Ia betanggung jawab atas keberadaan dunia benda. Alam semesta diciptakannya sebagai makluk hidup yang modelnya berdasarkan pada makluk hidup yang dapat berpikir. Demiurgos ada bersama-sama secara abadi dengan bentuk, namun Ia bukan merupakan bentuk individual, juga bukan merupakan keseluruhan bentuk (Melling,p275). Meskipun Plato mempercayai adanya oknum yang tak terbatas yang menciptakan alam semesta ini, namun ia tidak menyebutkan oknum tersebut sebagai Tuhan. Yang membedakan Demiurgos yang dipercayai Plato dengan Tuhan Allah dalam iman Kristen adalah demiurgos merupakan dewa yang menciptakan layaknya seorang seniman yang tidak hanya melakukan penciptaan ilahi tetapi juga menciptakan bentuk (Melling, p 270), sedangkan Tuhan Allah dalam Iman Kristen adalah oknum yang memiliki kehendak bebas untuk menciptakan segala sesuatu, yang melakukan penciptaan ilahi dari ketiadaan.
Di dalam iman Kristen mempercayai bahwa eksistensi Allah tidak hanya ada di dalam dunia yang nyata saja (fisik). Akan tetapi lebih besar dari itu, Allah ada di seluruh bagian di dunia ini baik dalam dunia nyata maupun di dunia yang tidak terjangkau oleh pemikiran manusia. Tidak ada satu orang pun yang dapat mengenal Allah dengan kemampuan kemanusiaannya. Oleh karena itu dalam pengenalan akan Allah dengan segala keberadaannya, manusia tidak akan dapat menyelidikinya dengan kemampuan dan pengertian manusia sendiri. Atas dasar kemampuan apa manusia dapat mengenal Allah, jika bukan karena Allah sendiri yang menyatakan dirinya kepada manusia (Mat. 11:27). Hal inilah yang bertentangan dengan pendapat plato bahwa semua pengetahuan dan keberadaan alam berdasar pada rasio manusia. Jadi keberadaan Allah bukan akibat dari sesuatu di luar diriNya. Allah bukan diciptakan, akan tetapi Allah ada dari diriNya sendiri (Yohanes 5:26). Allah adalah hidup dan keberadaan Allah kekal (Yoh. 1:1-4). Ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu (Mzm. 139:7-12), tanpa awal dan akhir (Wahyu 1:8). Oleh karena itu pernyataan Plato tentang ‘oknum tak terbatas’ yang menciptakan alam semesta pada kenyataannya sangat bertolak belakang dengan pandangan Kristiani mengenai Tuhan sebagai pencipta.


Referensi
Melling, David.(2002).Jejak Langkah pemikiran Plato.Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya
Calvin, Yohanes.(2000).Institutio pengajaran agama Kristen. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia